Bukti-bukti itu sampai pada
pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan
ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan
individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan
agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan
pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak
bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat
penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk
kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak
terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial
di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini,
pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di
mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi
hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan
terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah
memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang
selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat,
yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu
merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana
fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap
kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat
mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut
berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi
perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di
mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan
penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu
sendiri.
Teori fungsionalisme melihat
agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial,
perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga
sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh
nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar
atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah,
segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori
tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan
pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali
itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga
hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan
manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan
mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu
akan timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang
ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup
bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi,
fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis
memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari
ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang
sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur
tersebut.
Fungsi agama terhadap
pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat.
Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi
sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang
terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama
dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu
mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan
kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan
nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka
norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai
kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah
fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik
antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi
individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan
suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya
dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi”
anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah
untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk
mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama
dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland
Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug
perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan
teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran
tertentu.
b.Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang
berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius
formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat
publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu,
yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi,
mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun
dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan
dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki
informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya
adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan
penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga
lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan
pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak
masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap
agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama,
dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan
sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih
kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan
anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan
apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara
efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama
sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen,
dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka
akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami
lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan
bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat
diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat
dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil,
terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang
sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok
keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi,
ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem
nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral
dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan
dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan
dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap
agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada
tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan
kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur
pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol
dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru
sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab
sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan
mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu
tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang
memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem
kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar
mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang
dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan
kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang
merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan
krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan
struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila
dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang
penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab
lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya
berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil
pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah
haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s,
Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang
merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan
terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang
merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT
memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk
mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka
bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam
pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu
peristiwa Allah memerintahkan
Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang
masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas
perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian
Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan
gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa
sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan,
memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam).
Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali
di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung
jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke
dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan
ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s
yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s,
untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan
dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan
perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu
ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam
pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih
oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba)
jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi
kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka
bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)”
(Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut,
esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama
yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”,
“sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh
secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri
organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi
sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci
Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan
Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang
sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah
perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas,
lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau
organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat
intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah
akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional.
Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak
organisasi keagamaan.